Metrotvnews.com,
Jakarta: Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan calon untuk
menjadi pejabat negara tidak lepas dari maraknya politik uang dan salah
kaprahnya pandangan calon untuk mendapatkan suara rakyat.
Partai politik menggunakan calon untuk mendapatkan uang, dan calon
berpandangan bahwa uang menjadi faktor utama mendapatkan suara
masyarakat.
Menurut pengamat politik Pol-Tracking Institute Hanta Yudha, ada
beberapa penyebab mahalnya biaya politik di Indonesia. Yaitu lemahnya
mekanisme kampanye yang mengatur biaya politik, sistem pendanaan partai
politik yang tidak melibatkan publik, serta lemahnya kaderisasi dan
rekrutmen politik serta penentuan calon yang menimbulkan transaksi
politik.
"Lemahnya kepercayaan publik ke partai menyebabkan partai dan calon
mengambil jalan pintas. Akhirnya partai politik terjebak dalam
popularitas dan kapital," kata Hanta di diskusi Marketing Politik dan
Biaya Politik Haruskah Mahal? yang digelar Cides Indonesia di Gedung The
Habibie Center, Jakarta, Sabtu (27/4).
Dikatakan, sumbangan personal dan badan usaha ada batasnya, tapi dari
pengurus tidak dibatasi. Sedangkan pengeluaran parpol dan personal tidak
dibatasi. Akibatnya partai menggunakan calon menjadi sumber uang.
Sementara itu, publik tidak dilibatkan dalam urusan partai, khususnya
pendanaan. Akhirnya parpol hanya menjadi milik kelompok tertentu.
Lalu, setiap masyarakat yang ingin menjadi bakal caleg dimintai uang
oleh parpol untuk dapat dicalonkan. Calon yang memiliki banyak uang pun
menjadi prioritas, apalagi ditambah memiliki popularitas, walaupun
kemampuan politiknya rendah.
"Publik dikasih calon-calon yang tidak memiliki kemampuan. Sementara
yang memiliki kemampuan politik tersingkir karena kalah sebelum
berperang. Contoh, artis pada pemilu DPR lalu ada 60-an, tapi yang lolos
hanya 16 orang. Ini menunjukan bahwa parpol terjebak popularitas dan
uang," ujarnya.
Sebenarnya, lanjut Hanta, ada 4 faktor yang membuat suatu calon menang.
Yaitu magnet elektoral dan strategi marketing, ketepatan membaca
keinginan rakyat, mesin politik, dan terakhir adalah logistik atau uang.
Uang hanya pelengkap dari proses pemilihan dari tiga faktor penting
sebelumnya.
Menurut Konsultan PR yang merupakan mantan staf ahli Presiden Gus Dur,
Silih Agung Wasesa, 75% hal yang dilakukan calon untuk mendapatkan suara
rakyat pada saat kampanye adalah sia-sia. Misalnya bilboard, spanduk
hingga iklan di media massa.
"Kegagalan itu karena calon tersebut memaksa kita untuk menyukai tanpa
ada sentuhan langsung dengan pemilih. Mereka lebih menyukai cara instan
dengan mengunakan uang, dibandingkan berinteraksi langsung dengan
rakyat," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia (INSOS), Arifin Purwakananta,
mengatakan gaya kampanye calon adalah hanya branding dengan menjual kecantikan, bukan menjual gagasan dan perubahan.
"Banner sekota dipenuhi wajah dengan harapan popularitas naik sehingga
dipilih. Padahal publik jenuh lihat wajah. Orang nunggu gagasan, bukan
wajahnya," ujarnya.
Dikatakan, gaya seperti itu harus diubah, dari marketing menjadi Voteraising. Yaitu dari mengeluarkan uang untuk memoles diri agar
dipilih, menjadi memoleh gagasan dan ide sehingga masyarakat akan
memberi apapun agar orang dan gagasan itu terpilih.
"Calon harus memiliki gagasan, menawarkan, dan memimpikan gagasan, konstituen ikut dalam gerakan," ujarnya. (Raja Eben L)
Editor: Asnawi Khaddaf
Wednesday, January 1, 2014
"Buang" Uang Miliaran untuk Kampanye, Sia-sia!
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilu di Indonesia
dikenal berbiaya sangat tinggi. Dalam pemilu legislatif, seorang calon
anggota legislatif bisa mengucurkan dana kampanye dalam jumlah besar.
Bahkan, ada politisi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014
yang sampai menghabiskan uang puluhan miliar rupiah.
Pada pemilu mendatang, "kebiasaan" jor-joran uang untuk kampanye sudah seharusnya dihilangkan. Salah satunya, untuk menghindari kembali maraknya aksi korupsi para politisi. Logikanya, ketika terpilih, mereka tentu akan berusaha agar modal kampanye kembali, hingga akhirnya mendapat untung berlipat.
Konsultan public relation Silih Agung Wasesa mengatakan, 75 persen dana yang digelontorkan para politisi terbuang sia-sia karena digunakan untuk hal yang tidak perlu. Contohnya, memasang billboard, spanduk, dan baliho yang biayanya sangat besar.
"Seolah-olah orang lain suka. Padahal sudah pasti kita enggak suka. Banyak kesalahan politisi dalam komunikasi politiknya," kata Silih saat diskusi "Marketing Politik dan Biaya Politik Haruskah Mahal?", yang digelar Cides Indonesia, di Gedung The Habibie Center, Jakarta, Sabtu (27/4/2013).
Silih bercerita pengalamannya ketika menangani salah satu klien politisi. Awalnya, pihaknya hanya mengajukan anggaran Rp 750 juta. Namun, si klien malah ragu anggaran sebesar itu bisa membawanya memenangkan pertarungan.
Si klien, tambah dia, meminta cara-cara yang banyak dipakai politisi lain seperti beriklan di media. Padahal, kata dia, saran konsultan politik di belakang mereka salah. Setelah dihitung-hitung sesuai keinginan si klien, keluar angka Rp 2,5 miliar. Ternyata, si klien setuju.
Silih menambahkan, sudah saatnya dikembangkan politisi mencari dana dari publik seperti dilakukan negara maju, salah satunya Amerika Serikat.
"Orang sumbang cuma Rp 10 ribu jangan dilihat nilainya, tapi orang itu sudah pasti milih. Sekarang terbalik, orang yang dikasih uang," katanya.
Ia kemudian bercerita ketika menangani kampanye Joko Widodo menghadapi Pilgub DKI Jakarta 2012. Dengan bantuan banyak orang, mereka bermain di akar rumput. Timnya itu diminta menerima jika diberikan uang oleh pasangan di luar Jokowi-Basuki Tjahja Purnama. Ketika pasangan lain memberikan uang Rp 500 ribu, timnya itu diminta menyampaikan bahwa pasangan lainnya sudah memberikan uang Rp 700 ribu.
"Besoknya datang lagi nambahin jadi Rp 700 ribu. Saya bilang, lu tau kan pilih siapa (Jokowi)," kata Silih.
President Association of Fundraising Profesional Jakarta mengatakan, politisi cenderung menjual penampilan, bukan gagasan. Hal itu terlihat dari wajah-wajah hasil "editan" sehingga tampak "mulus" seperti terpampang di baliho, spanduk, atau billboard menjelang pemilu.
Mereka, kata Arifin, menyangka popularitas bisa menaikkan elektabilitas. Padahal, publik sudah jenuh dan kesal melihat spanduk yang terpasang di mana-mana.
"Bebek bisa diubah jadi garuda oleh orang komunikasi. Dijual kecantikannya. Padahal orang tunggu gagasannya," kata dia.
Arifin menambahkan, kondisi ini terjadi karena politisi menggunakan ilmu marketing politik. Padahal, marketing dipakai di dunia komersial untuk menghasilkan laba. Seharusnya, kata dia, politisi lebih tepat menggunakan ilmu fund raising atau istilah dia vote raising.
"Vote raising mengajak kandidat fokus ke semua sumber daya dengan membuat gagasan, menawarkan, dan memimpikan gagasan itu bisa dilakukan. Mendorong kandidat terjun ke bawah, mengajak berjuang, menggerakan kerelawanan. Kalau kandidat tidak punya uang, banyak sekali gagasan yang bisa lahir dari ketiadaan uang," kata dia.
"Vote raising mendorong kandidat berjuang hari ini, bukan menyusun daftar janji jika terpilih dan berjuang nanti kalau terpilih. Gagasan voteraising memang tak akan membuat pecundang jadi pemimpin. Tapi mendorong lahirnya banyak pemimpin," papar Arifin.
Pada pemilu mendatang, "kebiasaan" jor-joran uang untuk kampanye sudah seharusnya dihilangkan. Salah satunya, untuk menghindari kembali maraknya aksi korupsi para politisi. Logikanya, ketika terpilih, mereka tentu akan berusaha agar modal kampanye kembali, hingga akhirnya mendapat untung berlipat.
Konsultan public relation Silih Agung Wasesa mengatakan, 75 persen dana yang digelontorkan para politisi terbuang sia-sia karena digunakan untuk hal yang tidak perlu. Contohnya, memasang billboard, spanduk, dan baliho yang biayanya sangat besar.
"Seolah-olah orang lain suka. Padahal sudah pasti kita enggak suka. Banyak kesalahan politisi dalam komunikasi politiknya," kata Silih saat diskusi "Marketing Politik dan Biaya Politik Haruskah Mahal?", yang digelar Cides Indonesia, di Gedung The Habibie Center, Jakarta, Sabtu (27/4/2013).
Silih bercerita pengalamannya ketika menangani salah satu klien politisi. Awalnya, pihaknya hanya mengajukan anggaran Rp 750 juta. Namun, si klien malah ragu anggaran sebesar itu bisa membawanya memenangkan pertarungan.
Si klien, tambah dia, meminta cara-cara yang banyak dipakai politisi lain seperti beriklan di media. Padahal, kata dia, saran konsultan politik di belakang mereka salah. Setelah dihitung-hitung sesuai keinginan si klien, keluar angka Rp 2,5 miliar. Ternyata, si klien setuju.
Silih menambahkan, sudah saatnya dikembangkan politisi mencari dana dari publik seperti dilakukan negara maju, salah satunya Amerika Serikat.
"Orang sumbang cuma Rp 10 ribu jangan dilihat nilainya, tapi orang itu sudah pasti milih. Sekarang terbalik, orang yang dikasih uang," katanya.
Ia kemudian bercerita ketika menangani kampanye Joko Widodo menghadapi Pilgub DKI Jakarta 2012. Dengan bantuan banyak orang, mereka bermain di akar rumput. Timnya itu diminta menerima jika diberikan uang oleh pasangan di luar Jokowi-Basuki Tjahja Purnama. Ketika pasangan lain memberikan uang Rp 500 ribu, timnya itu diminta menyampaikan bahwa pasangan lainnya sudah memberikan uang Rp 700 ribu.
"Besoknya datang lagi nambahin jadi Rp 700 ribu. Saya bilang, lu tau kan pilih siapa (Jokowi)," kata Silih.
President Association of Fundraising Profesional Jakarta mengatakan, politisi cenderung menjual penampilan, bukan gagasan. Hal itu terlihat dari wajah-wajah hasil "editan" sehingga tampak "mulus" seperti terpampang di baliho, spanduk, atau billboard menjelang pemilu.
Mereka, kata Arifin, menyangka popularitas bisa menaikkan elektabilitas. Padahal, publik sudah jenuh dan kesal melihat spanduk yang terpasang di mana-mana.
"Bebek bisa diubah jadi garuda oleh orang komunikasi. Dijual kecantikannya. Padahal orang tunggu gagasannya," kata dia.
Arifin menambahkan, kondisi ini terjadi karena politisi menggunakan ilmu marketing politik. Padahal, marketing dipakai di dunia komersial untuk menghasilkan laba. Seharusnya, kata dia, politisi lebih tepat menggunakan ilmu fund raising atau istilah dia vote raising.
"Vote raising mengajak kandidat fokus ke semua sumber daya dengan membuat gagasan, menawarkan, dan memimpikan gagasan itu bisa dilakukan. Mendorong kandidat terjun ke bawah, mengajak berjuang, menggerakan kerelawanan. Kalau kandidat tidak punya uang, banyak sekali gagasan yang bisa lahir dari ketiadaan uang," kata dia.
"Vote raising mendorong kandidat berjuang hari ini, bukan menyusun daftar janji jika terpilih dan berjuang nanti kalau terpilih. Gagasan voteraising memang tak akan membuat pecundang jadi pemimpin. Tapi mendorong lahirnya banyak pemimpin," papar Arifin.
Marketing Politik, Haruskah Mahal?
“Marketing politik adalah cara agar orang mau memilih kita.
Tetapi kecerdasan dalam membuat suatu hal yang bermanfaat itulah yang
harus dilakukan oleh seorang caleg” ungkap Ketua DPR RI Marzuki Ali
mengawali pembukaan seminar CIDES (Center for Information and
Development Studies).
Mengusung tema “Marketing Politik, Haruskah Mahal?” seminar yang
dihelat Jum’at (30/5) kemarin ini mengundang banyak perhatian mahasiswa
berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Selain dihadiri Ketua DPR RI,
turut hadir pula Firmanzah (Staf Ahli Presiden Bidang Ekonomi), Arifin
Purwakananta (Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia), dan Ketua CIDES Kampus Ridwan.Marketing politik adalah sesuatu yang menjadi kebutuhan di era reformasi ini. Bagi politisi, tahun 2013 adalah tahun kecerdasan menjual gagasan dan pemasaran Politik. Pertanyaannya, haruskah mahal?
“Saya berbicara di depan ini adalah marketing. Fatin juga melakukan marketing yang menyebabkan juri dan para pemirsa memilih dia sebagai pemenang X-Factor” kata Firmanzah.
Firmanzah menjelaskan bahwa marketing itu tidak sesempit apa yang kita bayangkan. Karena sebenarnya marketing juga ada dalam dunia politik.
“Esensinya adalah ilmu pertukaran. Antara barang dengan uang, barang dengan barang, atau antara suara dengan janji” jelas Firmanzah.
Kemudian Arif Budimanta mengatakan bahwa ketokohan dan faktor emosional adalah faktor utama dalam marketing politik. Dua hal itu cukup untuk menekan cost politik, walaupun sebenarnya faktor ideologi, partai, dan platform juga mempengaruhi hasil dari marketing politik itu sendiri.
“Agar murah sistem demokrasi harus memuat aturan-aturan hukum yang detail. Misalnya, harus membiayai partai politik sesuai kewajaran supaya terhindar dari komersialisasi politik yang sangat merugikan keuangan negara” ungkap Arif.
Berbeda dari dua tokoh di atas , Arifin Purwakananta mempunyai sudut pandang lain. Arifin mengatakan bahwa seekor kelinci bisa diubah menjadi macan oleh orang komunikasi. Kondisi ini terjadi karena orang menggunakan ilmu marketing politik. Walaupun awalnya marketing dipakai di dunia komersial untuk menghasilkan laba.
“Politisi cenderung menjual penampilan, bukan gagasan” imbuh Arifin.
Beliau juga menambahkan bahwa politisi lebih tepat menggunakan ilmu fund raising atau istilah dia vote raising. Vote raising mengajak kandidat fokus membuat gagasan dan memimpikan gagasan itu dapat dilakukan. Mendorong kandidat terjun ke bawah, mengajak berjuang, dan menggerakkan semangat kerelawanan.
“Vote raising tidak menjamin menang, tetapi vote raising akan melahirkan para pemimpin yang berkualitas dan berintegritas” tegas Arifin.
Terakhir Ridwan sebagai mahasiswa aktif turut mememberikan satu pemahaman bahwa dalam marketing ekonomi, seseorang yang membeli jam tahan air bisa menuntut kerugian ketika jam tersebut rusak. Tetapi dalam marketing politik tidak bisa. Karena hukum kita tidak mengaturnya.
“Akan menjadi bermasalah dan berbahaya ketika marketing politik diidentikkan dengan marketing dalam ekonomi” simpul Ridwan.
Penulis: Hilkadona Syahendra (Mahasiswa FH Universitas Nasional)
Editor: Nur Afilin
Subscribe to:
Posts (Atom)